Movie Review: The English Game.

Movie Review: The English Game.

Ay Bruv kembali lagi dengan movie review dari Prung Webzine. Sekarang kita coba ngereview salah satu film yang menceritakan tentang sepak bola Inggris. Eits, bukan tentang hooliganisme atau isu kekerasan sepak bola lainnya ya. Kali ini film yang mau kita ulas ceritanya tentang perlawanan kaum kelas pekerja atau working class hero lah bahasa kerennya mah.

 

Sebelum coba nonton, ya seperti biasa coba cek di imdb atau rotten tomatoes, tapi ternyata penilaian dua portal kenamaan ini beda. Rotten tomatoes ngasih 2,5 bintang, terus si imdb ngasih 4 bintang. Pusing kan? Halah bodo amat, persetan dengan penilaian imdb sama rotten tomatoes, toh kita cukup menikmati film bal-balan Inggris ini kok hahaha.

 

Film yang coba kita ulas ini judulnya The English Games. Kenapa milih film ini sih buat di ulas? Ya selain daripada nyeritain tentang sepak bola Inggris, ternyata film ini juga ada hubungannya sama awal mula sepak bola modern yang sampai sekarang kita nikmati. Terus film ini juga nyeritain tentang perbedaan kasta sama strata sosial yang jadi salah satu polemik sepak bola sampe sekarang. Yoooo masuk ke ulasan filmnya.

 

Netflix, lagi-lagi Netflix yang nyedian film ini. Gila sih emang ya si Netflix tuh kaya salah satu penyedia film-film layak ditonton sepenuhnya. Siapa yang gatau Game of Throne, Peaky Blinders, Money Heist, Narcos sama masih banyak lah film keren lainnya yang kerja sama bareng Netflix, best regards Netflix!

 

The English Game sendiri film mini-seri drama yang dipimpin langsung sama si mpu penciptanya yaitu Julian Alexander Fellowes. Pria yang lahir pada tahun 1949 ini bakalan mengeksplorasi asal-usul sepak bola dan menelusuri akarnya kembali ke Inggris utara pada pertengahan 1800-an.

Kaya yang udah diceritain di atas, film ini sendiri terbagi jadi enam seri yang mencakup asal-usul sepak bola terus mereka yang terlibat di awal mencapai kelas sosial yang berbeda, dan berakhir jadi salah satu permainan yang paling dicintai di dunia.

 

“Ada anomali luar biasa bahwa sepak bola, yang awalnya dirancang oleh anak sekolah negeri di Eton, untuk dimainkan dengan aturan mereka sendiri, menjadi permainan yang mendominasi dunia ini,” ujar Fellowes waktu di wawancara sama salah satu media Inggris.

 

“Seiring permainan menyebar, menjadi kurang dapat dipertahankan bahwa Etonians dapat memesan sepak bola untuk diri mereka sendiri.”

 

"Klub-klub yang tumbuh di industri Midlands dan Utara menjadi perwakilan sejati dari permainan."

 

Fellowes sendiri enggak sporty banget sih, tapi ternyata dia terinspirasi untuk mengeksplorasi subjek sepak bola karena putranya.

 

“Saya membawanya ke East Ham atau West Ham untuk melihat laga kandang mereka melawan Manchester United. Sungguh luar biasa melihat sesuatu dilakukan dengan sangat luar biasa, demonstrasi kretif yang begitu hebat,"

 

“Permainan telah terpisah dari akarnya dan ada sesuatu yang hilang di sepanjang jalan, tapi saya masih berpikir sepak bola adalah kekuatan untuk kebaikan." tambahnya.

 

Film yang katanya nyeritain tentang sepak bola Inggris ini berlatar belakang pada tahun 1878 dan nyeritain salah satu kompetisi paling tua di Inggris, Piala FA pada saat itu. Fyi, Piala FA udah mulai jadi kompetisi profesional sejak musim 1871-72, ngeliat latar belakang sama cerita yang ada di film serial ini, ternyata Fellowes coba ngasih gambaran tentang kompetisi tujuh musim setelah pertama digelar. Tapi waktu itu belum ada nama klub asal Inggris yang mendunia kaya Manchester United, Liverpool, Chelsea, Arsenal, apalagi Manchester City sama yang lainnya. Piala FA waktu awal digelar diikuti tim tua asal Inggris kaya misalnya Old Etonians, Royal Engines, Oxford University, tapi ada juga satu tim yang namanya gak asing ditelinga kita semua, Blackburn.

Film ini nyeritain masa-masa awal eksistensi sepak bola. Gak Cuma itu, situasi politik antar kelas antara para borjuis dan bangsawan yang diwakili klub Old Etonians serta kelas pekerja yang diwakili Darwen. Sepak bola masih menjadi olahraga amatir yang aturan-aturannya diciptakan oleh kaum kelas atas, dan Piala FA menjadi piala terhormat yang selalu mereka raih sementara tak ada satupun klub dari kaum kelas bawah yang mampu memenangkannya.

 

Sebenernya film The English Game ini titik fokus ceritanya ada di pra final Piala FA tahun 1879. Old Etonians, tim sepak bola yang lebih ngandelin fisik sama permainannya yang cenderung keras dan kasar. Mereka dikenal karena tekel yang kadang cenderung mengarah brutal sampai terkadang lawannya bisa cedera cukup parah.

Tapi, ada rivalnya yang punya cara main beda, Darwen. Tim yang diperkuat sama para kelas pekerja ini justru lebih ngandelin teknik sama taktik ketika sedang bertanding. Apa lagi setelah kedatangan pemain baru mereka asal Skotlandia, Fergus Suter dan Jimmy Love. Terus mereka berdua ngebantu tim Darwen ini buat ngembangi sekaligus mereka juga ngajarin taktik dan teknis bermain kaya yang kita lihat di sepak bola modern kaya sekarang ini. Fergus Suter ini juga  dicatatkan sebagai salah satu dari beberapa pemain sepak bola Skotlandia di jaman itu yang mengembangkan taktik tim dengan pola permainan melalui passing-passing cepat untuk mengelabuhi lawannya para pemain Inggris yang rata-rata punya postur yang lebih gede.

 

Kaya yang ada di trailer film ini, ditulisin “Based on true events” yang dimana rupanya mengangkat kisah dari Fergus Suter yang diperanin Kevin Guthrie, pemain sepakbola asal Skotlandia, yang bersama dengan temannya Jimmy Love yang diakui sebagai pemain sepakbola profesional dalam sejarah sepak bola di Inggris. Fergus Suter sama Jimmy Love yang diperanin sama James Harkness melakukan peerjalanan dari Glasgow ke Darwen, di mana mereka telah direkrut untuk membantu Darwen lolos ke semifinal Piala FA.

Dengan hadirnya Fergus Suter dan Jimmy Love ke Darwen, rupanya mereka berdua mampu mendongkrak prestasi Darwen FC pada saat itu dan membuat petinggi FA selaku asosiasi sepak bola Inggris merasa geram dan murka. Maklum aja, petinggi FA saat itu berasal dari kaum bangsawan yang juga bermain untuk sebuah klub bernama Old Etonians, dan pada saat itu lah konflik antara kelas pekerja melawan bangsawan itu dimulai dan mewarnai seluruh rangkaian film The English Game.

 

Selain daripada Fergus Suter dan Jimmy Love, fokus dalam film ini juga berfokus pada Arthur Kinnaird yang diperankan oleh Edward Holcroft. Arthur adalah seorang bangsawan kaya raya yang sekaligus berperan sebagai pemain sepak bola dan bermain untuk tim bangsawan, Old Etonians. Selain daripada menjadi pemain dari Old Etonians, Arthur juga digambarkan sebagai anggota dewan FA yang sekaligus menjabat sebagai ketuanya. Arthur kemudian dikenal oleh khalayak luas sebagai selebriti sepak bola pada saat itu. Kaya George Best kali ya kalau di era 70-an.

 

Film besutan Fellowes ini juga ngasih gambaran serakahnya industri di Inggris pada era itu. Kelas pekerja diperlakukan layaknya sapi perah di suatu perternakan agar pabrik tetap dapat melakukan produksi sedemikian rupa dan meraih keuntungan secara maksimal. Bayangin aja mereka melakukan rapat tertutup antar pemilik pabrik danbank untuk memutuskan pemangkasan gaji para pegawai sebesar 10 persen, gila kan?

 

Sosok penting lainnya dalam film ini adalah James Walsh yang diperankan oleh Craig Parkinson, pemilik sebuah pabrik kapas, ia tidak rela melihat timnya dipecundangi. Dengan strategi yang ia jalankan, secara dengan diam-diam, ia membayar Fergus Suter dan Jimmy Love. Mengingat sepak bola pada awalnya sebagai permainan amatir, maka dirasa tidak mungkin ada pemain yang mendapatkan bayaran seperti yang terjadi pada Fergus Suter dan Jimmy Love.

 

Tidak ada satu pun pemain Darwen yang dibayar untuk jasa mereka. Jadi bisa juga disimpulin kalau mereka menjadi pemain pertama yang mendapatkan bayaran dalam sejarah sepak bola di Inggris, yang berkembang menjadi sepak bola modern, dan mencetak pemain yang memiliki label profesional.

Persaingan dan perselisihan antara kedua sosok ini emang ditonjolin banget di film ini. Rasa murka dari Arthur yang mencoba mencegah perjalanan para kaum kelas pekerja dari permainan ini menjadi sesuatu yang menarik. Tapi ya kadang ada plot yang klasik juga sih, kaya misalnya perjuangan Fergus Suter sebagai protagonist yang berjuang mati-matian demi membela suatu kaum dan berhasil ngejalanin misinya, tapi tetep menarik sih karena kemasan yang ada di film ini juga gak melulu tentang itu.

 

Dalam salah satu scene menjelang pertandingan ulang di final Piala FA 1879, pemilik klub Darwen, James Walsh bersikukuh dengan segala rencana dengan tekadnya agar Darwen bisa bermain di final, sebagai wakil kelas buruh dari kota Lancashire, Inggris Utara.

 

“Jika Blackburn (Darwen) menang, kita (kelas pekerja) menang. Sebab, ada yang berpikir bahwa para pekerja tak pantas bermain sepakbola,” ujar Walsh.

 

Sebenernya inti cerita dari miniseri Netflix ini sendiri adalah kekontrasan antara karakter permainan sepak bola Fergus Suter dan Arthur Kinnaird. Tapi, selain daripada itu, film ini juga menampilkan tema tentang konflik keluarga dan kisah romansa. Film ini juga menampilkan kehidupan dan dinamika masyarakat kelas pekerja pada jaman itu termasuk kisah tentang pemogokan buruh yang terjadi akibat pemotongan upah dan juga kisah tentang persaingan ‘kelas’ antara kaum borjuis dan kalangan pekerja yang tentunya diwakili lewat klub sepak bola di mana Old Etonians FC itu sendiri merupakan perwakilan klub sepak bola dari kaum borjuis dan Darwen sendiri mewakili para buruh.

Sejumlah karakter dalam film ini juga memiliki peran yang unik, eksentrik dan juga kompleks, menjadi suatu nilai lebih untuk terus menonton kelanjutan cerita dari film seri ini. Tidak berhenti sampai disitu, film yang rilis pada tahun 2020 ini juga memiliki nilai histori yang syarat akan makna dan berhasil mambawa penonton larut dalam nuansa masa lalu, begitu pula dengan pakaian yang mereka pakai turut memberikan gambaran Inggris pada era tersebut. Serial ini juga berhasil menampilkan gambaran euforia sepak bola pada saat itu, mulai dari animo suporter yang cukup liar, suasana penuh membara dalam suatu latihan dan tentunya kerusuhan ala-ala hooligan yang menjadi sesuatu yang menarik.

 

Terlepas dari segala masalah yang simpang siur bahwa tidak sepenuhnya yang dituliskan oleh Julian Alexander Fellowes adalah sebuah fakta. Namun dibalik itu semua film ini emang keren, alur cerita yang mengalir cukup dapat dipahami dan dinikmati oleh khalak luas dan sangat kami rekomendasikan buat kali, selamat menonton!

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.